Transmisi Kebijakan Moneter

Kamis, 19 Juni 2014
Posted by Putra Dwiyanto

Bagaimana Bekerjanya Kebijakan Moneter?


Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil.  Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.  Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter.  Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.


Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.  Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi.  Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat.  Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi.  Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah.  Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.   

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar.  Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar.  Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri.  Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat  pengembalian yang lebih tinggi.  Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor.  Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset.  Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. 

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi).  Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi.  Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag).  Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain.  Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat.  Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter.   Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat.  Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.  Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi  sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. 

SUMBER

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Posted by Putra Dwiyanto
Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi suplai (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered prices).


Berdasarkan karakteristik inflasi yang masih rentan terhadap shocks tersebut, untuk mencapai inflasi yang rendah, pengendalian inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi lintas instansi, yakni antara Bank Indonesia dengan Pemerintah. Diharapkan dengan adanya harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan tersebut, inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai yang pada gilirannya mendukung kesejahteraan masyarakat.


Gambar I. Koordinasi Antara Bank Indonesia dan Pemerintah Dalam Pengendalian Inflasi
Menyadari pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di level daerah (TPID) pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID. Keanggotaan Pokjanas TPID adalah Bank Indonesia, Kemenko Perekonomian dan Kemendagri.

SUMBER

BRI Bantah Terlibat Kartel Perbankan

Posted by Putra Dwiyanto

PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk menyatakan tidak terlibat dalam praktek kartel perbankan untuk penentuan suku bunga kredit. "BRI Jelas tidak ikut dalam kartel perbankan," kata Sekretaris Perusahaan BRI, Budi Satria, kepada Tempo, Senin, 9 Juni 2014.

Menurut Budi, Asset Liability Committee BRI menentukan suku bunga kredit secara mandiri dengan memperhatikan pergerakan suku bunga dari bank-bank lain. "Saya yakin bank-bank lain melakukan hal yang sama. Sekarang, setiap bank bisa saling melihat berapa bunga yang diberikan masing-masing," kata Budi.

Budi juga menambahkan bahwa komponen yang menentukan besar suku bunga kredit untuk masing-masing bank berbeda-beda. BRI sendiri menetapkan suku bunga kredit pada rentang 12-19 persen. "Komponen yang terdapat dalam suku bunga kredit BRI antara lain biaya operasional, premi risiko, marjin, dan overhead," kata Budi.

Meski pun suku bunga kredit di luar negeri hanya 5-6 persen, Budi menganggap besar suku bunga kredit Indonesia masih wajar. "Ya, tidak bisa dibandingkan dengan suku bunga kredit di luar negeri. Suku bunga juga dipengaruhi oleh kurs dan inflasi," kata Budi.

Sebelumnya, KPPU menduga sejumlah bank besar melakukan kerja sama dalam penentuan besar suku bunga kredit. Hingga kini, KPPU menyelidiki bank besar yang memberikan suku bunga kredit di atas 10-11 persen

Simpanan Bersuku Bunga Tinggi Berisiko Tak Dijamin

Posted by Putra Dwiyanto

Ketua Umum Perbankan Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan besarnya suku bunga perbankan di bank-bank umum yang melebihi batas wajar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memang biasa terjadi. Dia mengatakan memang ada banyak bank yang mematok suku bunga di atas angka LPS Rate.Menurut dia, kalangan perbankan yang menetapkan bunga bank melebihi LPS Rate harus menjelaskan kepada nasabah mengenai situasi yang sebenarnya. "Bank harus jelaskan pada nasabah bahwa simpanannya tidak dijamin oleh LPS," kata Sigit ketika dihubungi Tempo, Senin, 9 Juni 2014.

Hal ini menanggapi imbauan LPS agar bank umum tak menerapkan suku bunga melebihi angka wajarnya. Dari pantauannya, Bank Indonesia mencatat suku bunga simpanan dan kredit perbankan per April 2014 terus naik. Pada bulan itu, suku bunga deposito berjangka waktu satu bulan meningkat dari 7,98 persen menjadi 8,1 persen. Peningkatan suku bunga deposito juga terjadi untuk jangka waktu tiga bulan, dari 8,27 persen menjadi 8,35 persen. Suka bunga deposito jangka waktu enam bulan tercatat naik dari 8,24 persen menjadi 8,44 persen. Dan, untuk jangka waktu 12 bulan, suku bunga deposito meningkat dari 7,41 persen menjadi 7,8 persen.

Lebih jauh, ujar Sigit, keterbukaan bank kepada nasabah terkait dengan kondisi tidak dijaminnya simpanan nasabah karena bunga yang melebihi batas wajar sangat diperlukan. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan tidak adanya penggantian dana jika terjadi gangguan atau masalah pada bank tersebut. Berdasarkan Pasal 42 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2010 tentang Program Penjaminan Simpanan, LPS menetapkan tingkat bunga yang wajar untuk simpanan di bank umum periode 15 Mei 2014 sampai dengan 14 September 2014 pada simpanan dalam rupiah adalah 7,75 persen. Sedangkan untuk simpanan dalam mata uang asing atau valas sebesar 1,5 persen.

SUMBER 

BI Jamin Keuangan Perbangkan RI Lebih sehat dari 1998

Kamis, 10 April 2014
Posted by Putra Dwiyanto

Meski saat ini Indonesia terkena imbas dari penurunan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat (AS), tapi kondisi perbankan di tanah air terbilang sehat bila dibandingkan era 1997-1998 saat krisis moneter (krismon) parah yang mengguncang hampir seluruh negara.

"Kalau secara umum, kondisi perbankan Indonesia di tahun ini jauh lebih sehat ketimbang tahun 1997-1998, terutama di bidang tata kelola, manajemen risiko, prinsip kehati-hatian (pruden) dan kualitas dari keuangannya," tegas Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo di Jakarta, Senin (16/9/2013) malam.

Dari sisi kinerja keuangan, dia menilai, secara industri rasio kecukupan modal bank-bank di Indonesia lebih dari 17%, rasio kredit bermasalahnya di bawah 3% serta rasio keuntungan dan loan to deposit ratio (LDR) masuk dalam kondisi sehat.

"Di tingkat individu, kami mengamati perbankan di Indonesia menggunakan cara stress testing untuk menguji kredit bermasalah, likuiditas dan kecukupan modal," sambungnya.

Berdasarkan hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus lalu, Agus bilang, BI memutuskan untuk melakukan upaya supervisory action. Hal ini ditempuh demi meyakinkan bahwa perbankan Indonesia benar-benar dalam kondisi prima.

"Kalau melakukan stress testing dengan mengasumsikan kurs rupiah melemah cukup berat dan tingkat bunga tinggi maka akan ada beberapa bank yang perlu diperhatikan. Bank-bank itulah yang perlu dilakukan supervisory action," jelas dia.

Dia menganggap, bank seharusnya dapat membaca dan  menyadari membutuhkan arahan bank sentral apabila pertumbuhan kredit sudah berada di angka 20%. Risikonya, tentu perlambatan ekonomi dan tingkat bunga cenderung meningkat.

"Kami optimistis perbankan skala besar, menengah dan kecil di tanah air dalam keadaan baik. Kami akan pantau terus karena kami tidak ingin terjadi pelemahan di sistem perbankan nasional," tandas Agus.